Welcomw To Blogspot Riezal Cinta Damai

19 Jan 2012

The Last Waltz


Nama saya Lily , kami tinggal di sebuah kota kecil di Menado. Sejak
muda Ibu saya senang sekali menari, oleh sebab itulah ketika hari
perkimpoiannya ayah memohon agar tarian yang terakhir diberikan hanya
untuk dia seorang, maka dari itulah lagu pertama pada saat mereka
menari adalah "The Last Waltz" dari Engelbert Humperdinck, dan rupanya
ini benar-benar menjadi kenyataan, karena beberapa bulan kemudian pada
saat ibu melahirkan saya, ibu meninggal dunia.

Daddy - begitulah panggilan saya terhadap ayah. Karena kasihnya
kepada ibu, Daddy tidak pernah mau menikah lagi. Saya dibesarkan hanya
oleh Daddy dan nenek saya, dan setiap malam Tahun baru sudah merupakan
tradisi bagi Daddy untuk selalu mengalunkan lagu kesayangannya "The
Last Waltz", sambil mengingat ibu. Ketika saya berusia lima tahun,
Daddy mengajar saya menari waltz.

Sejak saat itu, setiap malam Tahun Baru, kami menari waltz berdua.
Pada hari ulang tahun saya yang kedua belas, yang bertepatan dengan
malam tahun baru, Daddy memberikan kepada saya hadiah berupa long dress
warna merah, dan kami berdua menari waltz bersama.

Pada saat tersebut, saya benar-benar merasa seperti juga Sang Putri
dalam kisah Cinderella yang sedang menari dengan Sang Pangeran. Daddy
mengasihi saya sehingga hampir semua permohonan saya selalu dikabulkan
olehnya, ia benar-benar mengabdikan hidupnya hanya untuk saya seorang. Seharian Daddy harus bekerja di kantor, jadi satu-satunya yang
membimbing saya di rumah adalah Nenek, hal ini mengakibatkan saya
terlibat pergaulan bebas, dan akhirnya mulai ketagihan narkoba. Hampir
setiap hari saya pulang ke rumah setelah jauh malam.

Walaupun demikian Daddy selalu menunggu kedatangan saya dengan
sabar, ia baru bisa tidur setelah saya berada di rumah kembali. Bahkan
pada malam Tahun baru yang terakhirpun, saya lebih senang merayakannya
di diskotik bersama dengan anak-anak muda lainnya daripada bersama
dengan Daddy, di situlah untuk pertama kalinya saya melihat Daddy
mengeluarkan air mata.

Karena kebutuhan saya akan narkoba semakin meningkat, maka akhirnya
saya mencuri uang tabungan yang seyogianya untuk masa tuanya Daddy, dan
melarikan diri ke Jakarta dengan harapan di sana saya bisa mendapatkan
pekerjaan dan bisa hidup mandiri.

Pada hari-hari pertama saya tinggal numpang di rumah Om saya, dan
ternyata mencari pekerjaan di Jakarta itu tidaklah mudah, sehingga
akhirnya saya terpaksa melamar bekerja di Klab Malam "Blue Ocean"
sebagai pramuria. Kalau dahulu saya menari dengan Daddy, di sana saya
terpaksa harus menari dengan pria yang sebaya dengan Daddy, bahkan
tidak jarang di mana akhirnya saya bersedia untuk menemani mereka tidur
di hotel.

Setelah satu bulan saya berada di Jakarta, saya menerima surat dari
Daddy yang dialamatkan ke tempat kost saya, rupanya Daddy mengetahui
alamat kost saya dari Om. Dalam seminggu saya menerima tiga surat
bahkan terkadang lebih, tetapi tidak satu surat pun yang pernah saya
balas, boro-boro dibalas, dibukapun tidak. Masalahnya saya merasa malu
dan tidak berani membaca surat dari Daddy, saya merasa berdosa terhadap
Daddy, bahkan saya merasa jijik terhadap diri saya sendiri.

Sudah lebih dari satu tahun saya di Jakarta, tumpukan surat yang
dikumpulkan sudah ada beberapa dus. Semuanya ini saya simpan dengan
rapi, hanya sayangnya ini hanya sekedar pajangan saja bagi saya, karena
saya tidak berani dan mau membukanya. Saya tidak ingin mengetahui bahwa
gadis kesayangannya Daddy, gadis yang sedemikian ia banggakannya, telah
menjadi seorang pramuria, seorang prostitusi, bahkan sudah menjadi
pencandu berat narkoba.

Beberapa hari sebelum Tahun baru, saya menerima surat lagi yang
ditulis dengan tulisan tangan yang sama, dan bentuk sampul yang sama,
tetapi kali ini tidak dikirim melalui pos maupun ke alamat kost saya,
melainkan dikirim dan dititipkan secara langsung ke klab malam tempat
di mana saya bekerja. Dan ketika saya menanyakan siapa yang menitipkan
surat tersebut, ternyata dari gambaran yang diberikan adalah Daddy
sendiri yang telah khusus datang ke Jakarta untuk mengantarkan surat
tersebut.

Ini kali saya sudah tidak tahan lagi untuk membukanya, dengan air
mata yang turun berlinang saya baca surat tersebut, yang isinya sebagai
berikut: "Lily my dearest beloved princess, Daddy sudah sejak lama tahu
di mana kamu bekerja, permohonan Daddy hanya satu saja: "Maukah kamu
pulang kembali ke rumah untuk menari bersama dengan Daddy ?"
Setelah membaca surat tersebut, saya langsung pulang ke tempat kost
untuk membaca ratusan surat - surat lainnya yang belum saya buka,
ternyata semua surat isinya sama, di mana hanya tertulis satu
pertanyaan saja yang ditulis dengan tangan: "Maukah Lily menari kembali
bersama dengan Daddy ?"

Hari itu juga saya langsung mengambil keputusan untuk pulang ke
rumah. Karena menjelang tahun baru, maka hampir semua pesawat fully
book, sehingga terpaksa saya membeli tiket dengan harga yang berkali
lipat lebih tinggi, hanya dengan satu harapan saja agar saya bisa tiba
di rumah sebelum malam Tahun baru nanti.

Setibanya saya dirumah, saya langsung dipeluk dengan erat oleh
Daddy, air matanya turun berlinang dengan deras membasahi kepala saya.
Dengan suara terisak-isak Daddy bertanya sekali lagi: "Maukah Lily
menari kembali bersama dgn Daddy ?" Saya mengangguk sambil menjawab:
"YA, tapi apakah Daddy tahu, bahwa Lily yang sekarang ini bukanlah
princess Daddy yang dahulu lagi ? Saya adalah seorang prostitusi yang
kotor, bahkan yang telah mengidap penyakit AIDS, apakah Daddy tidak
malu menerima saya kembali, apakah Daddy tidak takut ketularan penyakit
saya ?"

Daddy tidak berkata sepatah katapun juga, ia hanya pergi memutar
lagu kesayangannya "My Last Waltz", dan memeluk saya dgn penuh kasih
untuk mengajak saya menari seperti pada hari-hari Tahun baru sebelumnya
, hanya ini kali selainnya diiringi oleh irama lagu, juga oleh tetesan
air mata yang turun berderai.

Tanpa saya ketahui, sejak Daddy ditinggal oleh saya, ia sering
begadang menunggu dan mengharapkan kedatangan saya kembali, di samping
itu karena rasa duka yang sedemikian mendalamnya, sehingga akhirnya ia
jatuh sakit kanker, dua minggu setelah Tahun baru Daddy menghembuskan
nafasnya yang terakhir.

Rupanya ia mengetahui bahwa bahwa hari-hari terakhirnya telah
mendekati, oleh sebab itulah ia telah memaksakan diri, walaupun dalam
keadaan sakit sekalipun juga khusus untuk mengantarkan surat bagi saya
ke Jakarta, hanya untuk mewujudkan keinginannya yang terakhir dimana ia
bisa mendapatkan kesempatan sekali lagi menari dengan putri
kesayangannya. Masih terngiang-ngiang dikuping saya lirik dari lagu
kesayangannya "The Last Waltz"

.....
A little girl alone and so shy
I had the last waltz with you
Two lonely people together
I fell in love with you
The last waltz should last forever
But the love we had was goin' strong
Menjelang akhir tahun ini, banyak sekali orang tua yang
mengharapkan dan menunggu kedatangan dari anak-anaknya. Bagaimanapun
keadaan dan situasi Anda pada saat sekarang ini, orang tua kita bisa
menerima kita apa adanya, dengan segala kelemahan maupun kelebihan
kita, terlebih lagi mereka tidak mau mengingat kesalahan-kesalahan kita
di masa lampau, yang mereka inginkan hanya satu saja ialah dapat
melihat dan memeluk putera dan puterinya kembali. Berapa lama lagi Anda
akan menyuruh mereka menunggu ? Datang dan kembalilah sebelum terlambat
! Kalau keadaan tidak memungkinkan, telponlah mereka sambil mengatakan:
I love you Mom & Dad
Happy New Year

Tidak ada komentar:

Posting Komentar