Welcomw To Blogspot Riezal Cinta Damai

19 Jan 2012

Seorang nenek dan seliter minyak goreng


Suatu ketika saya bertemu dengan seorang nenek. Dia, yang yang
ringkih dengan kebaya bermotif kembang itu, tampak sedang memegang
sebuah kantong plastik. Hitam warnanya, dan tampak lusuh. Saya duduk
disebelahnya, di atas sebuah metromini yang menuju ke stasiun KA.
Dia sangat tua, tubuhnya membungkuk, dan kersik di matanya tampak
jelas. Matanya selalu berair, keriputnya, mirip dengan aliran
sungai, berkelok-kelok.

Hmm...dia tampak tersenyum pada saya. Sayapun balas tersenyum. Dia
bertanya, mau kemana. Saya pun menjawab mau kuliah, sambil bertanya,
apa isi plastik yang dipegangnya.

Minyak goreng, jawabnya. Ah, rupanya, dia baru saja mendapat jatah
pembagian sembako. Pantas, dia tampak letih. Mungkin sudah seharian
dia mengantri untuk mendapatkan minyak itu.

Tanpa ditanya, dia kemudian bercerita, bahwa minyak itu, akan
dipakai untuk mengoreng tepung buat cucunya. Di saat sore, itulah
yang bisa dia berikan buat cucunya. Dia berkata, cucunya sangat
senang kalau digorengkan tepung. Sebab, dia tak punya banyak uang
untuk membelikan yang lain selain gorengan tepung buatannya. Itupun,
tak bisa setiap hari disajikan. Karena, tak setiap hari dia bisa
mendapatkan minyak dan tepung gratis.

Degh. Saya terharu. Saya membayangkan betapa rasa itu begitu indah.
Seorang nenek yang rela berpanas-panas untuk memberikan apa yang
terbaik buat cucunya. Sang nenek, memberikan saya hikmah yang dalam
sekali.

Saya teringat pada Ibu. Tuhan memang Maha Bijak. Sang nenek hadir
untuk menegur saya. Sudah beberapa saat sebelumnya, saya sering
melupakan Ibu. Seringkali makanan yang disajikannya, saya lupakan
begitu saja. Mungkin, karena saya yang terlalu sok sibuk dengan
semua urusan kuliah. Sering saat pulang ke rumah, saya menemukan
nasi goreng yang masih tersaji di meja, yang belum saya sentuh sejak
pagi.

Sering juga saya tak sempat merasakan masakan Ibu di rumah saat
kembali, karena telah makan di tempat lain. Saya sedih, saat
membayangkan itu semua. Dan Ibu pun sering mengeluh dengan hal ini.
Saya merasa bersalah sekali. Saya bisa rasakan, Ibu pasti memberikan
harapan yang banyak untuk semua yang telah dimasaknya buat saya.
Tentu, saat memasukkan bumbu-bumbu, dia juga memasukkan kasih dan
cintanya buat saya. Dia pasti juga akan menambahkan doa-doa dan
keinginan yang terbaik buat saya. Dia pasti, mengolah semua masakan
itu, mengaduk, mencampur, dan menguleni, sama seperti dia merawat
dan mengasihi saya. Menyentuh dengan lembut, mengelus, seperti dia
mengelus kepala saya di waktu kecil.

Metromini telah sampai. Setelah mengucap salam pada nenek itu, saya
pun turun. Namun, saya punya punya keinginan hari itu. Mulai esok
hari, saya akan menyantap semua yang Ibu berikan buat saya. Apapun
yang diberikannya. Karena saya yakin, itulah bentuk ungkapan rasa
cinta saya padanya. Saya percaya, itulah yang dapat saya berikan
sebagai penghargaan buatnya. Saya berharap, tak akan ada lagi
makanan yang tersisa. Saya ingin membahagiakan Ibu. Terima kasih
Nek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar